Rabu, 07 November 2012

Aturan Outsourcing Rentan Diakali Perusahaan

Maraknya sistem kerja kontrak oleh perusahaan penyedia jasa pekerjaan atau biasa disebut outsourcing, membuat nasib karyawan tidak jelas. Setidaknya itulah yang dialami M Yunus Budi Santoso, seorang pekerja pembaca meteran listrik di Bangkalan, Madura.

Pengalaman ini diungkapkan Yunus saat memberikan keterangan sebagai saksi fakta dalam dalam sidang pleno pengujian Pasal 59 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di Gedung MK Jakarta, Rabu (6/7).

Dalam sidang pleno yang dipimpin Moh Mahfud MD lengkap dengan delapan hakim konstitusi sebagai anggota, Yunus mengaku telah menekuni pekerjaan sebagai pembaca meteran sejak tahun 2000. Saat ini, karyawan pembaca meteran masih dikelola oleh Unit Pengelola Pembaca Meteran PT PLN.

“Saat dikelola Unit Pembaca Meteran hingga tahun 2004, status saya tidak jelas karena saya tidak mendapat surat keputusan penugasan dari Unit Pembaca Meteran PLN yang digaji atas dasar rute baca meter,” tutur Yunus.

Namun, sejak tahun 2004 pula pengelolaan dialihkan ke perusahaan outsourcing yang hingga kini sudah berganti tiga perusahaan atas dasar lelang. Sejak tahun 2004-2007 Yunus dikontrak oleh PT Dagang Energi Infomedia, terus 2007-2009 dikontrak PT Bukit Alam Barisani dengan besaran gaji yang sama. Lalu, dikontrak lagi oleh PT Mustika Berkah Abadi tahun 2009-2010.

Ia mengaku setelah dikontrak di beberapa perusahaan itu semakin tidak ada jaminan dalam bekerja. Bahkan, sejak tahun 2008 gaji yang ia terima semakin menurun karena gajinya disesuaikan dengan jumlah pelanggan PLN dan rute baca meteran. Saat dirinya mempertanyakan, PT Mustika Berkah Abadi berdalih pihaknya memiliki manajemen sendiri.


“Sejak tahun ini saya dinonaktifkan dengan alasan tidak jelas, makanya persoalan ini saya laporkan ke Disnaker setempat, namun Disnaker belum bisa memutuskan itu,” dia mengeluhkan.


Yunus juga mengaku saat dirinya bekerja menjadi koordinator pembaca meteran yang membawahi 10 orang pembaca meteran mendapat gaji totalnya Rp1,3 juta. Sementara, upah bawahannya berkisar R625 ribu hingga Rp975 ribu. “Dasar pengupahannya juga tidak jelas, ketika saya tanya tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti,” tukasnya.

Yunus menduga pergantian perusahaan pengelola meteran itu adalah upaya PLN untuk menghindar dari kewajiban mengangkat karyawan tetap. Sebab, sesuai aturan, masa kontrak karyawan dibatasi maksimal tiga tahun. Jika melebihi tiga tahun, secara otomatis perusahaan harus mengangkatnya sebagai karyawan tetap.

Tingkat ketaatan rendah

Sementara itu, pemerintah beranggapan hubungan kerja kontrak dan outsourcing, salah satu maksudnya adalah untuk memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal ini sesuai yang diamanatkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

“Pasal itu juga dalam rangka memberikan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja untuk mendapat imbalan yang setimpal dengan pekerjaan yang dilakukan,” kata Kepala Biro Hukum Kemenakertrans Sunarno.

Karena itu, anggapan pemohon yang menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan telah menimbulkan kerugian konstitusional adalah tidak benar dan mengada-ngada. “Menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945,” pintanya kepada MK.

Namun begitu, Sunarno mengakui bahwa untuk menentukan suatu jenis pekerjaan masuk kategori yang bisa dikontrak atau tidak tergantung dari perusahaan. “Untuk menentukan apakah jenis pekerjaan itu masuk core business atau non-core business tergantung pada perusahaan dengan membuat alur kegiatan. Sebab, pemerintah kesulitan untuk menentukan itu,” katanya.

Ia juga tidak menampik bahwa pelaksanaan sistem kerja kontrak outsourcing seringkali tidak sejalan dengan semangat UU Ketenagakerjaan. “Saya menyadari dalam implementasi sistem kerja kontrak ini, tingkat ketaatan perusahaan rendah, seperti membuat alur kegiatan untuk menentukan mana core business atau non-core business tidak dilaksanakan,” keluhnya.

Untuk diketahui, pengujian Pasal 59 (1) UU Ketenagakerjaan ini dimohonkan oleh Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML) Didik Suprijadi. Ia menilai setiap pelaksanaan item pekerjaan di PT PLN termasuk pekerja pembaca meteran merupakan pekerjaan yang bersifat tetap karena bersifat terus-menerus. Faktanya, seluruh petugas pembaca meteran berstatus tenaga kontrak yang sudah bekerja puluhan tahun.

Menurutnya, sistem kontrak yang diperbarui setiap satu tahun sekali mengakibatkan tidak dipertimbangannya masa kerja seseorang. Alhasil, masa kerja 20 tahun tidak ada bedanya dengan pekerja baru. Sebab, setiap memasuki kontrak baru, masa kerja seseorang dihitung nol tahun. Karena itu, Pasal 59 ayat (1) dan ayat (8) UU Ketenagakerjaan dianggap bertentangan UUD 1945.

0 komentar:

Posting Komentar