JAKARTA – Kemudahan pendirian usaha outsourcing dinilai menjadi penyebab dari munculnya masalah-masalah yang terus melingkupi tenaga kerja outsourcing.
Izin mendirikan usaha dapat diberikan dengan memenuhi syarat berupa
bukti berbadan hukum, surat izin usaha, dan anggaran dasar. Idealnya,
menurut Subdit Perijinan Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Hendri Alizar, perlu dilampirkan pula keberadaan bank garansi dan
kepastian alamat kantor.
“Artinya, ada jaminan kepada tenaga kerja terhadap besaran upah yang
ia terima ataupun hak lain terkait pesangon dan THR,” tuturnya, Selasa
(19/6/2012). Sejauh ini, kerja sama antara perusahaan outsourcing dengan
usaha induk seharusnya dituangkan dalam sebuah perjanjian. Seluruh
bentuk perjanjian seperti waktu kerja dan besaran upah tertuang di dalam
sana.
Namun, terang Hendri, banyak dari perusahaan ini yang tidak
mendaftarkan perjanjian tersebut ke dinas terkait atau Kemenakertrans.
Permasalahan outsourching muncul kebanyakan dari perusahaan-perusahaan
yang tidak mendaftarkan perjanjian tersebut. Ia menduga, tidak
didaftarkannya perjanjian tersebut disebabkan adanya niat buruk dari
kedua belah pihak dalam memperlakukan tenaga kerja outsourcing
yang tidak sesuai dengan aturan berlaku. Sementara, ia mengakui
pengawasan secara menyeluruh sulit dilaksanakan sendiri oleh pemerintah.
Pengawasan yang efektif, menurutnya dilakukan melalui komite
pengawasan yang melibatkan serikat pekerja dan perusahaan. Keberadaan
otonomi daerah juga menjadi hambatan di saat dinas-dinas kabupaten/kota
sulit diajak bekerja sama untuk dimintai data-data terkait perusahaan outsourcing.
Jika memang diketahui terjadi pelanggaran dalam perjanjian sehingga merugikan tenaga kerja outsourcing,
Hendri mengatakan bahwa perusahaan tersebut akan dicabut izin kerjanya.
Sayangnya, Hendri sulit menyebutkan data pasti terkait keberadaan usaha
yang bermasalah, karena data lebih banyak dimiliki di tingkat
kabupaten/kota.
Subiyanto Pudin, Sekjen DPP Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
mengakui bahwa banyak sekali perusahaan outsourcing yang abal-abal. Ia
mengungkapkan bahwa kondisi di lapangan adalah dengan mengandalkan kop
surat dan stempel sudah bisa membuat usaha serupa. Ia menyebutkan bahwa
perlu adanya kesadaran politik dari pekerja untuk memperjuangkan nasib
mereka. Kesadaran tersebut, tambahnya, perlu dilengkapi dengan keilmuan
yang memadai. Selain itu, pemerintah harus memastikan bahwa usaha
outsourcing memang merupakan usaha yang berkualifikasi.
Pengamat ekonomi Didik Rachbini mengungkapkan bahwa keberadaan outsourcing
sejatinya tetap diperlukan. Sebagai penyedia tenaga kerja bagi
pekerjaan sementara, paparnya, jenis usaha seperti ini bisa menjadi
pelengkap bagi usaha induk. Ia menyayangkan kontrol yang kurang membuat
manfaat outsourcing menjadi hilang karena perusahaan malah
menyalahgunakannya. Menurutnya, daya tawar serikat pekerja yang masih
sangat rendah membuat diri mereka kurang dipertimbangkan.( Harian Jogja)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar